SALAM PEWARTA,
Berdasarkan Arah Dasar Keuskupan Agung Jakarta tahun 2016 – 2020 ditentukan bahwa katekese (pengajaran iman, red) saat ini harus lebih hidup dan memerdekakan. Meskipun ibadat pada hari Minggu di semua Gereja di KAJ masih dipenuhi umat, kita tidak bisa menutup mata pada kenyataan bahwa iman Katolik di KAJ, bahkan di seluruh dunia, menghadapi tantangan yang tidak sedikit.Tantangan tersebut terutama bersumber pada arus sekulerisasi yang merajalela, yang pada intinya manusia hanya mau mengandalkan kekuasannya sendiri tanpa campur tangan Allah (bdk. I. Suharyo, buah penegasan bersama).
Buntut dari terpinggirnya Allah dari kancah kehidupan manusia memang panjang. Orientasi pada materi dan kenikmatan hidup menjadi ilah baru menggeserkan peranAllah. Gaya hidup konsumtif dan hedonistis yang meresapi hampir semua sendikehidupan tidak dapat disangkal berkontribusi pada maraknya praktek-praktek korupsi. “Keuangan yang maha kuasa” itulah sumber dari berbagai kemerosotan moral. Permasalahan kehidupan perkawinan dan keluargapun terkena imbasnya, karena manusia cenderung mencari cara-cara gampang (pragmatis) dalam menyelesaikan masalah-masalah keluarga. Hal ini tampak dari semakin maraknya kawin campur dan perceraian. Kesibukan dalam mencari nafkah sering mengaburkan nilai-nilai injili, yang mengakibatkan terabaikannya pendidikan iman dalam keluarga dan sulitnya umat bersekutu di lingkungan ataupun wilayah. Iman dan kehidupan menggereja dan bermasyarakat dipisahkan (dikotomi) semata-mata karena manusia semakin egois dan tidak mau terlibat membangun Kerajaan Allah dalam kebersamaan. Ibadat-ibadat gerejani tidak lagi menjadi sumber dan puncak kehidupan Kristiani, melainkan hanya sebagai hiasan atau selingan belaka. Kondisi ini dipertajam oleh maraknya media digital dan internet, yang meskipun memberikan banyak manfaat, secara ekspansif ikut andil dalam menyebarkan arus sekularisasi yang menjauhkan manusia dari Tuhan. Kondisi ini makin diperparah lagi dengan meningkatkan kelompok-kelompok fundamentalis dan radikal, yang tidak hanya melawan segala macam kemajuan tetapi juga memaksakan kehendak bahkan menyerang iman Katolik. Itulah gambaran tantangan iman dan kondisi umat Allah di KAJ dewasa ini.
Menghadapi tantangan ini, Gereja di KAJ sangat menyadari pentingnya katekese yang hidup dan memerdekakan. Bagaimanapun keadaanya, karya pewartaan Gereja harus terus berjalan sepanjang jaman. Justru ketika mengalami arus sakal, katekese harus semakin bergairah, agar iman umat tidak goyah atau bahkan hilang di tengah jalan. Sebagaimana pepatah mengatakan tanpa pewartaan tidak ada Gereja, begitulah jati diri Gereja.
Katekese yang hidup berarti pewartaan dijalankan secara menarik dan berbobot sehingga memotivasi kita untuk dengan suka cita menjalani hidup iman yang kreatif, dinamis, aktif dan partisipatif dalam hidup menggereja, memasyarakat dan berbangsa. Sedangkan katekese yang memerdekakan berarti karya pewartaan tersebut mampu membuka hati pendengarnya untuk melepaskan diri dari belenggu-belenggu dunia dan dosa, dan dengan penuh semangat tergerak untuk menghasilkan buah-buah kasih dalam segala aspek kehidupan dan menjadikan kita semakin dalam menjalin relasi dengan Allah dan sesama.
Santo Yohanes Paulus II mengingatkan kita bahwa tujuan akhir ketekese ialah: bukan saja menghubungkan umat dengan Yesus Kristus, melainkan mengundangnya untuk memasuki persekutuan hidup yang mesra denganNya. Hanya Dialah yang dapat membimbing kita kepada cinta kasih Bapa dalam Roh, dan mengajak kita ikut serta menghayati hidup Tritunggal Kudus (Catechesi Tradendae, 5).
Belajar dari Yesus, Sang Katekis Utama, kita dapat menemukan contoh katekese yang hidup dan memerdekakan dalam kisah perjalanan dua murid di Emaus (Luk 24:13-23). Pada awalnya kedua murid itu bermuka muram (ay.17), tetapi setelah mereka mendengarkan pengajaran Yesus yang berbobot, terbukalah mata dan hati mereka. Hati merekapun berkobar-kobar dan segera mereka bangkit dan kembali ke Yerusalem untuk mewartakan kabar gembira yang telah diterimanya.
Pengajaran dan hidup Yesus telah membuat orang terbuka matanya, menjadikan hati orang berkobar-kobar dan mendorong mereka untuk bertindak. Spritualitas – daya gerak untuk membuka, menyentuh dan akhirnya berkobar-kobar untuk mau mewartakan Yesus Sang Sabda inilah yang mendasari kita untuk menyusun program Komisi Kateketik KAJ ini. Kami berharap program-program yang kami susun ini bisa membantu umat di paroki-paroki se-KAJ untuk semakin bergairah menjadi murid dan saksi Kristus dan dengan demikian juga menjalankan fungsi mereka sebagai garam dan terang dunia.